Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendukung upaya Pemerintah Indonesia untuk mengajukan proposal Perjanjian Perdagangan Bebas Terbatas atau Limited Free Trade Agreement (FTA) kepada Amerika Serikat terkait perdagangan bebas mineral kritis, terutama nikel.
Hal ini menyusul dikucilkannya nikel RI dari rencana kebijakan paket subsidi energi bersih Amerika Serikat. Melalui Undang-Undang Inflation Reduction Act (IRA), Pemerintah AS akan menerbitkan pedoman kredit pajak bagi produsen baterai maupun kendaraan listrik (EV).
Namun, baterai yang mengandung komponen dari Indonesia dikhawatirkan tetap tidak memenuhi syarat untuk kredit pajak Inflation Reduction Act (IRA) secara penuh. Pasalnya, Indonesia disebut belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS.
Ketua Umum Kadin Indonesia dan ASEAN Business Advisory Council (ASEAN-BAC) Arsjad Rasjid mengatakan, bila pada akhirnya Pemerintah Amerika Serikat tidak menyetujui usulan Limited FTA dari Pemerintah Indonesia, maka mereka sendiri lah yang akan rugi besar.
“Akan banyak kerugian bagi AS jika tidak terjadi kesepakatan terkait Limited FTA dengan Indonesia,” tegasnya, dikutip dari keterangan resmi, Selasa (18/04/2023).
Arsjad menilai Indonesia memiliki posisi daya tawar tinggi dalam pengajuan Limited FTA ini. Pasalnya, Indonesia merupakan pemilik cadangan nikel terbesar di dunia dan menguasai sepertiga cadangan nikel dunia.
Tak hanya nikel, Indonesia juga menguasai mineral kritis lainnya seperti bauksit maupun tembaga.
“Indonesia memiliki potensi cadangan mineral kritis terbesar di dunia untuk komponen bahan baku baterai hingga kendaraan listrik di dunia, misalnya nikel yang mencapai sepertiga dari cadangan dunia dan bauksit mencapai 4% cadangan global atau 1,2 miliar ton,” paparnya.
“Tidak adil jika AS masih mengucilkan Indonesia dalam kebijakannya,” imbuhnya.
Dia pun berharap agar inisiatif pengajuan proposal Limited FTA Indonesia kepada AS segera mendapat respons positif dan dapat segera disepakati, untuk mendorong kerja sama perdagangan yang saling menguntungkan antara Indonesia dan AS, serta memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain utama dalam industri mineral kritis global.
Menurutnya, kebijakan Amerika Serikat yang terkesan mengucilkan Indonesia dalam hal produk mineral kritis seperti nikel dan turunannya melalui Undang-Undang Inflation Reduction Act (IRA), semata-mata terjadi karena belum adanya FTA dengan pihak Amerika Serikat.
Selain itu, pihak AS memiliki kekhawatiran mengenai adanya dominasi China pada industri mineral kritis seperti nikel dan turunannya di Indonesia.
“Kami adalah penyedia mineral kritis seperti nikel dan turunannya yang terbesar di dunia dan kami selalu berupaya memastikan memiliki portofolio perdagangan mineral ini dengan negara China maupun Non-China guna mencapai kesepakatan perdagangan yang adil dan saling menguntungkan,” kata Arsjad.
Sebagaimana diketahui, pemerintah AS akan menerbitkan pedoman kredit pajak bagi produsen baterai dan EV di bawah Undang-Undang Pengurangan Inflasi (Inflation Reduction Act/ IRA) dalam beberapa minggu ke depan. Undang-undang ini mencakup US$ 370 miliar dalam subsidi untuk teknologi energi bersih.
Namun, baterai yang mengandung komponen dari Indonesia dikhawatirkan tetap tidak memenuhi syarat untuk kredit pajak dalam IRA secara penuh. Pasalnya, Indonesia disebut belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS.
Sejak pekan lalu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan melakukan kunjungan kerja ke Amerika Serikat. Adapun salah satu agendanya yaitu melakukan negosiasi dan mengajukan Limited FTA mineral kritis dengan Pemerintah Amerika Serikat.